Tapa Kolo adalah salah satu makanan khas tradisional Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Sampai saat ini, masyarakat manggarai masih mempertahankan eksistensi tapa kolo demi menjaga warisan leluhur. Seperti apa tapa kolo tersebut?
Manggarai
Salah satu kabupaten di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur adalah Kabupaten Manggarai. Kota ini berisi serangkaian tempat wisata yang belum banyak dikunjungi yang menjadi surga tersembunyi di Indonesia Timur.
Seperti budaya di berbagai tempat lainnya, Kabupaten Manggarai juga memiliki makanan khas antara lain Manggulu, Muku Loto, dan Rebok, jagung Bose, jagung Titi, kue rambut, Tapa Kolo, Ohu Ai Pungan, Rumpu Rampe, dan Se’i.
Selain makanan, terdapat juga Rumah Tradisional Wae Rebo, Pulau Rinca, Desa Tradisional Todo, Pulau Kelor, Pulau Liang Bua, Pulau Kanawa, Pulau Mules, air terjun Cunca Rami, Danau Rana Mese, dan danau lotus.
Selain keindahan alam tersebut, ada berbagai spot wisata lainnya yang tersedia. Yaitu sawah Lodok yang indah, Bukit Silvia dengan pemandangan garis pantai yang menakjubkan, dan pemandangan kota Ruteng yang menakjubkan.
Adapun salah satu makanan khas yang warga Manggarai pertahankan adalah Tapa Kolo. Makanan khas ini menjadi jamuan acara adat tahunan di kota Manggarai yaitu ketika akan menanam padi.
Karena itu, suguhanku telah merangkum informasi mengenai awal mula , bahan-bahan pembuatan dan cara membuat tapa kolo.
Rumah Adat Wae Rebo |
Apa yang Disebut Dengan Tapa Kolo?
Tapa kolo adalah salah satu makanan khas tradisional Manggarai Raya, tepatnya terletak di Manggarai Timur, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tapa Kolo berasal dari kata ‘Tapa’ yang berarti ‘bakar’ dan ‘Kolo’ yang berarti ‘nasi bambu’. Berarti, tapa kolo merupakan makanan yang terbuat dari beras merah yang dibakar di dalam bambu.
Biasanya, warga Manggarai membuat makanan ini hanya ketika diselenggarakan upacara adat. Menariknya, Beras harus dipanen melalui serangkaian ritual adat yang dilakukan oleh para tetua adat kampung sebagai bahan dasar makanan ini.
Warga Manggarai menggunakan beras merah tersebut yang disebut dengan “Dea Laka”. Selain itu, warga Manggarai biasanya mencampur beras merah dengan darah dan lemak hewan seperti seekor kambing, kerbau, babi dan ayam.
Karena itu, jika anda sedang berkunjung di Manggarai dan sedang mencoba hidangan ini, tanyakan terlebih dahulu kepada pembuat, apakah makanan tersebut tidak tercampur dengan bahan non halal lainnya.
Makanan Khas ini tentu adalah makanan yang telah ada sejak lama dalam tradisi masyarakat di Manggarai, dan menjadi warisan para leluhur yang selalu dilestarikan melalui tradisi tahunan.
Tapa Kolo Dimasak Ketika Acara Adat Apa?
Warga Manggarai biasanya membuat hidangan ini ketika terdapat berbagai upacara adat Manggarai. Namun, biasanya yang paling khusus ketika musim penanaman padi sawah atau ladang.
Mereka memasak Tapa Loko di rumah adat mereka yaitu rumah Wae Rebo. Selain memasak hidangan upacara ini, Warga Manggarai melaksanakan Upacara Tapa Kolo diiringi dengan penyembelihan seekor ayam jantan.
Dengan tujuan, untuk memohon kepada nenek moyang dan juga penghuni sawah/ladang agar tanaman yang ditanam pada lahan sawah atau ladang terhindar dari berbagai bala’ bencana, penyakit maupun hama.
Sehingga tanaman yang mereka tanam dapat bertumbuh subur serta mereka mendapatkan hasil panen yang banyak dan melimpah. Karena itu, hidangan ini masih sangat eksis hingga sekarang mengingat tujuan pembuatannya yang sakral.
Bagaimana Cara Memasak Tapa Kolo?
Cara memasak Tapa Loko menggunakan beras yang telah dipanen melalui serangkaian ritual oleh para sesepuh di kampung-kampung Kota Manggarai. Kemudian dicampur dengan darah dan lemak hewan tertentu.
Selanjutnya, warga menyiapkan ruas bambu yang telah dipotong. Lalu, ruas bambu diisi dengan beras merah dan air lemak dan darah, juga dengan rempah-rempah tertentu seperti kunyit, santan, garam, kunyit dan lainnya.
Adapun sebelum beras dan bumbu lainnya dimasukkan ke dalam ruas bambu, isian beras dimasukkan terlebih dahulu ke dalam daun enau muda dan dilapisi dengan daun pisang agar masakan tetap bersih dari berbagai kotoran.
Kemudian, siapkan bongkahan kayu api untuk membakar beras. Beras dibakar di atas api selama sekitar satu sampai dua jam dengan api sedang agar pematangan merata. Kemudian nasi dibagi menjadi dua bagian.
Pertama, warga Manggarai menyiapkan nasi Kolo untuk persembahan kepada nenek moyang yang mereka sebut dengan ‘kolo wada kudut helang ata pa’ang be le’ yang artinya nasi bambu khusus persembahan kepada nenek moyang.
Kedua, nasi lain yang boleh dikonsumsi bagi warga Manggarai maupun para wisatawan atau pendatang lainnya. Mereka sangat menikmati Tapa Kolo karena makanan ini memiliki nilai sakral yang tinggi dan warisan leluhur Manggarai.
Posting Komentar